Kamis, 28 Juli 2016

tunduk

api yang membakar api
langit atau angkasa?

lalu siapa yang harus tunduk lebih rendah dari api?
abu!
lalu siapa yang tetap tegak berpijar?
hanya aku!

bisu!
bungkam manusia,
kembali tunduk lebih rendah dari sisa bara neraka

dialogue

bising tenggelamkan rapuh
malu sapu senyum senyum termahal
aku menangis.. kebencianku
demikian peluklah aku

walau aku lelah dengan merdu mu
waktu takkan membuang rasa

kau bilang hujan pesan pertanda baik
namun saat ini hujan membawa luka
walau sibuk kini memayungiku
tetap saja engkau membasahiku
kenangan lama membuatku flu
empat tahun tak pernah sembuh

Senin, 25 Juli 2016

Engkau,

ku akui aku memang gila
terlalu gila memujimu
terlalu gila memuja seni tuhan diwajahmu

aku ingin mencumbu waktu
memperkosa usia,
merampok semua tua, lelah dan derita dari keningmu

katakan padaku,
bagaimana cara tuhan memahat senyummu?
dua belah bibir yang mencipta surga

tolonglah aku
lutut ku terpaku, tertancap
berlutut tak tahu lelah dihadapanmu

Rabu, 20 Juli 2016

Selamat datang untuk dimana

aku masih menunggu kabar
dimana setiap angka tidaklah penting untuk dihitung
aku masih menunggu
kapan jenuh membuhuh dua sisi bertolak belakang
memastikan semua usaha tidaklah sia sia
kepada bintang yang kian ditelan pagi
kepada cahaya yang kian meredup
aku masih tinggal dengan cemasku

berlama-lama dengan akal dan logika
meraba setiap asa untuk masa depan
katak masih berkelana mencari tempat
untuk singgah dan berkembang biak

berikan saja manisan yang sangat manis
makanan lain selain gula dan madu
meski resiko selalu mengancam
diabetes bukanlah alasan

Senin, 18 Juli 2016

Mati Melamun

malam ini aku berdebat hebat dengan lelahku
tidur nyenyak mengajarkanku betapa indahnya dunia
aku meregangkan tubuhku dari kakunya aktifitas
sebelum tubuhku yang meregang dan jiwaku hilang

aku ingin mati tersenyum
meski memaksa aku tetap tak suka topeng
kau bilang aku melankolis,
namun kataku senyuman dapat dibeli siapa saja dengan harga murah
bahkan senyuman menjual dirinya dengan harga gratis

sekali lagi aku mengengam erat lambungku
ia kembali mencaci maki dengan kata-kata lapar
aku mencoba keluar mencari makan
namun pintu terkunci rapat dan sangat rekat

khayalku ku pacu
dan aku terdiam, mati melamun

Bunga sang fajar

izinkan aku mekar pada perkasa fajar melantang
mudahlah layu lemah tak berdaya
indahku kelakar tak terbatas kala mata memandang
hamba mahluk malang dan engkau Tuhan yang Maha adil